Perjanjian Bongaya: Siapa Pemimpin Perlawanan Terakhir?

Guys, pernah denger tentang Perjanjian Bongaya? Ini perjanjian penting banget dalam sejarah Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan Kesultanan Gowa-Tallo. Nah, pertanyaan yang sering muncul nih: Perjanjian Bongaya 1667 mengakhiri perlawanan yang dipimpin oleh siapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengulik lebih dalam tentang latar belakang, isi perjanjian, dan tokoh-tokoh yang terlibat. Yuk, kita bahas tuntas!

Latar Belakang Perjanjian Bongaya

Sebelum kita membahas siapa pemimpin perlawanan yang dimaksud, kita perlu tahu dulu nih kenapa Perjanjian Bongaya ini bisa terjadi. Jadi, ceritanya gini... Pada abad ke-17, Kesultanan Gowa-Tallo, yang terletak di Sulawesi Selatan, itu lagi jaya-jayanya. Mereka adalah kekuatan maritim yang disegani di wilayah timur Nusantara. Tapi, ambisi mereka ini bentrok dengan kepentingan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yaitu kongsi dagang Belanda yang juga pengen menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah ini.

Konflik antara Gowa-Tallo dan VOC ini mencapai puncaknya pada tahun 1660-an. Terjadi beberapa kali pertempuran sengit. VOC, yang didukung oleh beberapa kerajaan lokal yang menjadi sekutunya, seperti Kesultanan Bone, terus berusaha menekan Gowa-Tallo. Nah, perang ini melelahkan kedua belah pihak. Akhirnya, pada tahun 1667, diadakanlah perjanjian damai di Bongaya. Lokasinya ada di dekat Makassar, yang sekarang kita kenal sebagai Ujung Pandang. Perjanjian inilah yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Bongaya.

Perjanjian Bongaya ini penting banget karena menandai melemahnya Kesultanan Gowa-Tallo dan semakin kuatnya pengaruh VOC di Sulawesi Selatan. Dampaknya terasa banget dalam sejarah Indonesia, guys. Kita bisa lihat bagaimana VOC semakin leluasa menjalankan politiknya setelah perjanjian ini.

Isi Perjanjian Bongaya yang Merugikan Gowa-Tallo

Perjanjian Bongaya ini isinya berat sebelah banget, guys. Bisa dibilang, Kesultanan Gowa-Tallo sangat dirugikan dalam perjanjian ini. Beberapa poin penting dalam perjanjian ini antara lain:

• Gowa-Tallo harus mengakui kekalahan dan tunduk pada VOC.
• Wilayah Gowa-Tallo dipersempit. Beberapa wilayah strategis diserahkan ke VOC.
• VOC mendapatkan hak monopoli perdagangan di wilayah Gowa-Tallo.
• Benteng pertahanan Gowa-Tallo, yaitu Benteng Somba Opu, harus dihancurkan.
• Gowa-Tallo harus membayar ganti rugi perang yang besar kepada VOC.

Dari poin-poin di atas, kelihatan banget kan kalau Perjanjian Bongaya ini sangat menguntungkan VOC dan merugikan Gowa-Tallo? Gowa-Tallo kehilangan banyak wilayah, kekuatan ekonominya melemah karena monopoli VOC, dan benteng pertahanannya dihancurkan. Ini pukulan berat bagi kesultanan ini.

Sultan Hasanuddin: Sang Ayam Jantan dari Timur

Nah, sekarang kita balik lagi ke pertanyaan awal: Perjanjian Bongaya 1667 mengakhiri perlawanan yang dipimpin oleh siapa? Jawabannya adalah Sultan Hasanuddin. Beliau adalah Sultan Gowa ke-16 yang memimpin perlawanan terhadap VOC. Sultan Hasanuddin dikenal sebagai sosok yang gagah berani, cerdas, dan gigih dalam mempertahankan wilayahnya dari penjajah. Karena keberaniannya, beliau mendapat julukan "Ayam Jantan dari Timur".

Sultan Hasanuddin naik tahta pada tahun 1653. Sejak awal pemerintahannya, beliau sudah menunjukkan sikap yang tegas terhadap VOC. Beliau menolak tunduk pada VOC dan berusaha mempertahankan kedaulatan Gowa-Tallo. Perlawanan Sultan Hasanuddin terhadap VOC ini berlangsung cukup lama dan sengit. Meskipun pada akhirnya Gowa-Tallo terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya, semangat perlawanan Sultan Hasanuddin tetap membara.

Meskipun Perjanjian Bongaya menandai kekalahan Gowa-Tallo, Sultan Hasanuddin tidak pernah menyerah sepenuhnya. Beliau terus berusaha mencari cara untuk melawan VOC. Perlawanan beliau ini menginspirasi banyak tokoh lain di Nusantara untuk melawan penjajah.

Pilihan Jawaban Lainnya: Mengapa Salah?

Oke, sekarang kita bahas pilihan jawaban lainnya, kenapa mereka salah:

• Sultan Ageng Tirtayasa: Beliau adalah Sultan Banten yang juga melakukan perlawanan terhadap VOC, tapi perlawanan beliau terjadi di Banten, bukan di Gowa-Tallo. Jadi, Sultan Ageng Tirtayasa tidak terlibat langsung dalam Perjanjian Bongaya.
• Pattimura: Beliau adalah pahlawan dari Maluku yang memimpin perlawanan terhadap Belanda pada abad ke-19, jauh setelah Perjanjian Bongaya. Jadi, jelas Pattimura tidak ada hubungannya dengan perjanjian ini.
• Pangeran Diponegoro: Beliau adalah pahlawan nasional yang memimpin Perang Diponegoro pada abad ke-19, juga jauh setelah Perjanjian Bongaya. Perlawanan beliau terjadi di Jawa, bukan di Sulawesi Selatan.
• Cut Nyak Dien: Beliau adalah pahlawan wanita dari Aceh yang memimpin perlawanan terhadap Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Jadi, Cut Nyak Dien juga tidak terkait dengan Perjanjian Bongaya.

Jadi, jelas ya, jawaban yang benar adalah Sultan Hasanuddin. Beliau adalah pemimpin perlawanan dari Kesultanan Gowa-Tallo yang terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.

Kesimpulan: Perjanjian Bongaya dan Semangat Perlawanan

Sebagai kesimpulan, Perjanjian Bongaya 1667 adalah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang menandai melemahnya Kesultanan Gowa-Tallo dan semakin kuatnya pengaruh VOC. Perjanjian ini mengakhiri perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, sang Ayam Jantan dari Timur. Meskipun perjanjian ini merugikan Gowa-Tallo, semangat perlawanan Sultan Hasanuddin tetap menginspirasi banyak tokoh lain untuk melawan penjajah.

Semoga penjelasan ini membantu kalian memahami lebih dalam tentang Perjanjian Bongaya dan peran Sultan Hasanuddin, guys! Jangan lupa, sejarah itu penting untuk kita pelajari supaya kita bisa belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik. Semangat terus belajar sejarah ya!